• RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • “ السّلا م عليکم ورحمةالله وبرکة Selamat datang di website saya semoga bermamfaat ;
  • 1 : “Tiga hal adalah kemuliaan dunia dan akhirat: memaafkan orang yang menzalimimu, menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, dan sabar ketika engkau diperlakukan sebagai orang bodoh”
  • 2 : “Janganlah malas dan suka marah, karena keduanya adalah kunci segala keburukan. Barang siapa yang malas, ia tidak akan dapat melaksanakan hak (orang lain), dan barang siapa yang suka marah, maka ia tidak akan sabar mengemban kebenaran”
  • Pasar Apung

    Pasar Apung di Banjarmasin

  • IOPC 2014

    International Oil Palm Conference (IOPC) yang diadakan di Nusa Dua Bali dimana membahas tentang perkembangan perkelapasawitan di dunia

  • Reaktor Serbaguna GA Siwabessi

    Reaktor Nuklir Serba Guna G.A. Siwabessy (RSG-GAS) yang dibangun di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK) Serpong merupakan salah satu fasilitas yang dimiliki oleh BATAN. Reaktor Serba Guna dibangun sejak tahun 1983, setelah dicapai kritis pertama pada 27 Maret 1987, kemudian diresmikan oleh presiden RI pada tanggal 20 Agustus 1987. Akhirnya pada bulan Maret 1992 dicapai operasi reaktor pada daya penuh 30 MW.

  • Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) BATAN

    Peran Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) dalam menunjang perwujudan Visi dan Misi Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) adalah melaksanakan pengembangan dan aplikasi teknologi isotop dan radiasi.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Perbedaan Pemuliaan Konvensional Dengan Non Konvensional

Posted by Unknown On 12.00

Perbedaan Pemuliaan Konvensional dengan pemuliaan inkonvensional
Pemuliaan Konvensional
Pemuliaan Konvensional dimana Penentuan karakteristik merupakan hal yang krusial dalam deskripsi tanaman. Karakteristik yang paling tua dan paling umum digunakan adalah sifat morfologi dan fisiologi seperti bentuk batang dan daun, ada atau tidak ada bulu, waktu berbunga, ketahanan penyakit dan lain-lain. Sifat-sifat ini sekarang digunakan untuk registrasi varietas. Kerugian menggunakan tipe ini adalah ekspresinya sangat bervariasi terhadap kondisi lingkungan. Pengaruh ini dapat dihindari jika hanya menggunakan karakter morfologi kualitatif yang monogenik (seperti yang dilakukan Mendel pada awal percobaannya pada pea). Sifat-sifat ini langsung menunjukkan genotipe tanaman, tetapi kelemahannya adalah hanya beberapa dari karakter tersebut yang tersedia.
Strategi dalam pemuliaan tanaman konvensional adalah dengan melakukan peningkatan variasi genetik yang diikuti kemudian dengan seleksi pada keturunannya. Pemuliaan tanaman biasanya mengarah pada domestikasi meskipun tidak selalu demikian. Peningkatan variasi genetik dapat dilakukan melalui berbagai cara:
• Introduksi
Mendatangkan bahan tanam dari tempat lain (introduksi) merupakan cara paling sederhana untuk meningkatkan keragaman genetik. Seleksi penyaringan (screening) dilakukan terhadap koleksi plasma nutfah yang didatangkan dari berbagai tempat dengan kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Pengetahuan tentang pusat keanekaragaman tumbuhan penting untuk penerapan cara ini. Keanekaragaman genetik untuk suatu spesies tidaklah seragam di semua tempat di dunia. N.I. Vavilov, ahli botani dari Rusia, memperkenalkan teori "pusat keanekaragaman" (centers of origin) bagi keanekaragaman tumbuhan. Contoh pemuliaan yang dilakukan dengan cara ini adalah pemuliaan untuk berbagai jenis tanaman buah asli Indonesia, seperti durian dan rambutan, atau tanaman pohon lain yang mudah diperbanyak secara vegetatif, seperti ketela pohon dan jarak pagar. Introduksi dapat dikombinasi dengan persilangan.
• Persilangan
Persilangan merupakan cara yang paling populer untuk meningkatkan variasi genetik, bahkan sampai sekarang karena murah, efektif, dan relatif mudah dilakukan. Pada dasarnya, persilangan adalah manipulasi komposisi gen dalam populasi. Keberhasilan persilangan memerlukan prasyarat pemahaman akan proses reproduksi tanaman yang bersangkutan. Berbagai macam skema persilangan telah dikembangkan (terutama pada pertengahan abad ke-20) dan menghasilkan sekumpulan metode pemuliaan yang lazim diajarkan di perkuliahan bagi mahasiswa pemuliaan tanaman tingkat sarjana. Semua varietas unggul padi, jagung, dan kedelai yang ditanam di Indonesia saat ini dirakit melalui persilangan yang diikuti dengan seleksi.
• Manipulasi genom
Yang termasuk dalam cara ini adalah semua manipulasi ploidi, baik penggandaan genom (set kromosom) maupun perubahan jumlah kromosom. Gandum roti dikembangkan dari penggabungan tiga genom spesies yang berbeda-beda. Semangka tanpa biji dikembangkan dari persilangan semangka tetraploid dengan semangka diploid. Teknik pemuliaan ini sebenarnya juga mengandalkan persilangan dalam praktiknya.
Pemuliaan Inkonvensional
Pemuliaan Inkonvensional atau Bioteknologi modern ditandai dengan penggunaan teknik biologi molekuler sehingga rekayasa yang dilakukan dapat jauh lebih terarah sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih atau sepenuhnya dikendalikan, Marka molekuler ditentukan secara langsung pada materi genetik yaitu DNA itu sendiri. Dengan demikian hasil yang diperoleh dari teknik marka molekuler secara total independen dari pengaruh lingkungan dimana materi tersebut ditanam. Pada akhir dua dekade ini beberapa teknik marka molekuler telah dikembangkan yang mampu mengkarakterisasi materi genetik, menghasilkan variasi yang luas dari marka-marka baru yang menunjukkan keragaman pada berbagai level perbedaan
Strategi dalam pemuliaan tanaman inkonvensional
• Manipulasi gen atau bagian kromosom
Metode-metode yang melibatkan penerapan genetika molekular masuk dalam kelompok ini, ditambah metode klasik pemuliaan dengan mutasi. Berbagai teknik yang tercakup di dalamnya, di antaranya TILLING, teknologi antisense, gene silencing, teknologi RNAi, rekayasa gen, dan overexpression. Meskipun teknik-teknik ini telah diketahui berhasil diterapkan dalam skala percobaan, belum ada varietas komersial yang dirilis dengan cara ini.


• Transfer gen.
Cara ini dikenal pula sebagai transformasi DNA. Gen dari organisme lain disisipkan ke dalam DNA tanaman untuk tujuan tertentu. Strategi pemuliaan ini banyak mendapat penentangan dari kelompok-kelompok lingkungan karena kultivar yang dihasilkan dianggap membahayakan lingkungan jika dibudidayakan.
Transformasi tanaman yang dimediasi dengan Agrobacterium tumefaciens merupakan metode transformasi tanaman yang paling umum digunakan A. tumefaciens secara alami menginfeksi tumbuhan dikotil dan menyebabkan tumor yang disebut ‘crown gall’ Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang menyebabkan crown gall dengan mentransfer bagian DNA-nya (dikenal sebagai T-DNA) dari Tumour inducing plasmid (Ti plasmid) ke dalam inti sel dan berintegrasi dengan genom sehingga menyebabkan penyakit ‘crown gall’.T-DNA mengandung 2 tipe gen, gen onkogenik yang menyandikan enzim termasuk sintesis auksin dan sitokinin dan membentuk formasi tumor, serta gen yang menyandikan sintesis opin, hasil dari kondensasi asam amino dan gula. Opin dihasilkan dan diekskresikan sel ‘crown gall’ dan digunakan oleh A. tumefaciens sebagai sumber karbon dan nitrogen. Sementara gen untuk reaksi katabolisme opin, gen yang membantu transfer T-DNA dari bakteri ke sel tanaman, dan gen tansfer konjugatif plasmid, terdapat diluar T-DNA.
A. tumefaciens terlebih dahulu melakukan pelekatan pada permukaan sel tanaman dengan membentuk mikrofibril sehingga menyebabkan terjadinya luka pada tanaman yang akan mengeluarkan senyawa fenolik yaitu asetosiringone sebagai respon sinyal. Sinyal tersebut mengaktifkan virA yang merupakan protein kinase untuk mengaktifkan virG dan memfosforilasinya menjadi virG-P. Dengan aktifnya virG-P ini akan mengaktifkan gen-gen vir lainnya untuk mulai bersifat virulen dan melakukan transfer VirD untuk memotong situs spesifik pada Ti plasmid, pada sisi kiri dan kanannya sehingga melepaskan T-DNA yang akan ditransfer dari bakteri ke sel tanaman . T-DNA utas tunggal akan diikat oleh protein VirE yang merupakan single strand binding protein sehingga terlindung dari degradasi. Bersamaan dengan itu, protein virB membentuk saluran transmembran ysng menghubungkan sel A. tumefaciens dan sel tanaman sehingga T-DNA dapat masuk ke sel tanaman. Gen pada T-DNA, yang meliputi gen auksin, sitokinin dan opin, ikut terekspresi sehingga memacu pertumbuhan sel tanaman menjadi banyak (tumor.
Dengan adanya teknologi transformasi yang dimediasi A. tumefaciens ini berperan dalam menghasilkan tanaman transgenik, seperti tanaman tembakau yang tahan terhadap antibiotik tertentu. Resistensi terhadap antibiotik ini didapatkan dari bakteri yang turut menyisip pada T-DNA A. tumefaciens. Produk yang dihasilkan dengan cara ini sudah cukup banyak, seperti berbagai kultivar padi, kedelai, jagung, kapas, tomat, dan kentang.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pemuliaan_tanaman"

TRANSFER GEN APETALA1 KETANAMAN MANGGIS UNTUK MEMPERCEPAT PROSES PEMBUNGAAN DENGAN A. Tumefaciens

Posted by Unknown On 11.57

PENDAHULUAN

Latar balakang
Manggis merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari hutan tropisyang teduh di kawasan Asia Tenggara, yaitu hutan belantara Malaysia atau Indonesia. Dari Asia Tenggara, tanaman ini menyebar ke daerah Amerika Tengahdan daerah tropis lainnya seperti Srilanka, Malagasi, Karibia, Hawaii dan AustraliaUtara. Di Indonesia manggis disebut dengan berbagai macam nama lokal seperti manggu (Jawa Barat), Manggus (Lampung), Manggusto (Sulawesi Utara), Manggista (Sumatera Barat). 

Harga manggis di Eropa, AS, Kanada, Jepang dan Korea bisa mencapai 2 US $ per butir. Dengan kurs Rp 9.000,- per 1 US $, maka harga satu butir buah manggis mencapai Rp 18.000,- di tingkat konsumen di negara pengimpor. Harga tiap kilogram buah manggis, mencapai Rp 72.000,- kalau isinya 8 butir. Namun tidak semua manggis yang dihasilkan dari satu pohon bisa diekspor seluruhnya. Manggis dari kebun rakyat, hanya bisa diekspor sekitar 20 sd. 30% nya. Hingga harga buah ini di tingkat petani masih berkisar Rp 300,- per butir atau Rp 3.000,- per kg. isi 10 butir.

Kendala utama pengembangan kebun manggis adalah umur berbuahnya yang lama. Di alam, tanaman manggis baru akan berbuah pada umur 10 sd. 12 tahun. Namun, kelebihan tanaman manggis adalah, akan tetap produktif sampai umur ratusan tahun. Para calon pekebun, akan berpikir ulang kalau harus investasi sampai belasan tahun baru mulai menghasilkan. Karenanya di Thailand, para petani menyisipkan tanaman manggis di sela-sala pohon durian mereka. Setelah manggis berproduksi, tanaman duriannya bisa dibuang, atau tetap dibiarkan selama masih menguntungkan. Bagi para petani Thailand, secara ekonomis tanaman manggis lebih menguntungkan daripada durian.

APETALA1 adalah gen penyandi faktor transkripsi yang dengan atau tanpa gen pembungaan lainnya, berperan dalam transisi perkembangan vegetatif ke pembungaan (Pelaz et al., 2001; Pena et al., 2001; Putterill et al., 2004). Homolog gen APETALA1 telah berhasil diklon dari organ bunga kakao. Pendekatan bioinformatika yang dikombinasikan dengan beberapa teknik biologi molekuler terbukti dapat digunakan untuk mengisolasi gen pembungaan kakao full length APETALA1. 

Pendekatan kloning gen relatif lebih sederhana daripada cara yang umumnya digunakan, misalnya melalui penapisan (screening pustaka cDNA). Dengan primer heterologous yang dirancang berdasarkan sekuen homolog gen APETALA1 dari berbagai spesies yang dapat diakses dari bank gen (genebank) melalui situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov atau http:// www.ebi.uk, cDNA homolog APETALA1 dapat disintesa dari RNA total bunga kakao dan diamplifikasi dengan teknik RT-PCR (Santoso, 2004). 

Tujuan Penulisan
  1. Untuk Mengetahui Transfer Gen APETALA1 Ketanaman Manggis Untuk Mempercepat Proses Pembungaan Dengan A. Tumefaciens

Kegunaan Penulisan
  1. Sebagai tugas mata kuliah dasar bioteknologi tanaman fakultas pertaanian Universitas Sumatera Utara, Medan
  2. Sebagai informasi bagi pihak yang membutuhkan

TINJAUAN MASALAH

Tanaman manggis memiliki masa vegetatif yang panjang sehingga proses pembentukan bunga membutuhkan waktu 10 sampai 12 tahun untuk berbunga dengan mentranfer gen APETALA1ke tanaman manggis sehingga proses pembungaan dapat dicepat terjadi hal ini seperti Tanaman jeruk memiliki masa TBM (juvenile) yang panjang. Organ reproduktifnya tidak terbentuk hingga tanaman berumur antara 6 dan 20 tahun, tergantung spesiesnya. Konstruksi konstitutif dari gen AtLEAFY atau AtAP1, yang merupakan penginduksi pembungaan pada Arabidopsis, telah ditransformasikan dan diekspresikan di kecambah jeruk. Kedua jenis jeruk transgenik menghasilkan bunga fertile dan buah dini pada tahun pertama. Selanjutnya, ekspresi AP1 tersebut sama efisiensinya dengan LFY dalam inisiasi bunga, tidak berdampak abnormalitas pada perkembangannya. Kedua jenis tanaman transgenik tersebut juga tetap berbunga pada tahun-tahun berikutnya, dan respons pembungaan-nya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Selain itu, bibit biji yang berasal dari tanaman transgenik memiliki masa TBM yang sangat pendek, membuktikan bahwa fenotipe yang terekspresi tersebut bersifat stabil dan menurun (inheritance). Hasil-hasil ini membuka peluang baru dalam pemuliaan (genetic improvement) tanaman tahunan (Pena et al., 2001). 

DNA amplikon hasil RT-PCR tersebut terbukti merupakan homolog APETALA1. Setelah diklon dengan vektor-T, sekuen keseluruhan dari DNA hasil PCR tersebut, sekitar 900 pb, dapat ditentukan dengan primer universal M13. Analisis Blast (Basic Local Alignment Search Tool) menunjukkanbahwa sekuen cDNA tersebut memiliki tingkat homologi yang tinggi dengan gen APETALA1 dari beberapa spesies tanaman (Claveri & Notredame, 2003; Santoso, 2004)

BAHAN DAN METODE

Modifikasi dan transformasi genetik
Konstruk ekspresi pada tanaman dari gen TcAP1 dibuat dengan meligasikan promoter konstitutif 35S CaMV di ujung 5’ dan terminator Nos di ujung 3’ dari gen tersebut. DNA untuk ligasi ini sebelumnya dipotong dengan enzim endonuklease restriksi yang sesuai. Untuk keperluan transformasi, secara umum konstruk tersebut diposisikan di antara batas kanan (RB) dan batas kiri (LB) dari vektor transformasi biner. Vektor rekombinan yang diperoleh dimasukkan ke dalam sel A. tumefaciens, galur AGL0 kompeten dengan cara elektroforasi (Chaidamsari, 2006). Untuk menyeleksi dan mengkonfirmasi A. tumefaciens yang positif membawa konstruk ekspresi TcAP1dilakukan PCR koloni dengan primer spesifik TcAP1 pada beberapa koloni bakteri yang tumbuh pada medium seleksi. Transformasi genetik TcAP1 ke dalam sel tanaman model dilakukan dengan teknik leaf disk yang dimodifikasi dari Saint et al. (1994) sebagaimana diuraikan dalam Santoso et al. (2000). A. tumefaciens yang membawa konstruk 35S-TcAP1 ditumbuhkan dalam medium cair Luria–Bertani (LB) yang mengandung kanamisin dengan pengocokan, A. tumefaciens tersebut dikulturkan kembali pada kondisi yang sama. Potongan-potongan eksplan daun manggis, (diameter 0,5 – 1,0 cm) diinkubasi dengan kultur cair A. tumefaciens . Kokultivasi pada medium MS padat yang mengandung acetosyringon 100 ppm dilakukan selama dua hari. Setelah itu dilakukan seleksi.

Kultur jaringan
Kultur jaringan untuk regenerasi planlet manggis dilakukan dengan metode standar melalui organogenesis. Potongan eksplan daun steril dikulturkan pada medium MS padat yang mengandung BAP 0,5 ppm (Murashige & Skoog, 1962). Kultur di-inkubasi pada suhu 26 – 28oC dengan lama penyinaran 16 jam per hari. Subkultur ke medium segar. Kultur eksplan transgenik dilakukan dengan metode dan kondisi yang sama dengan non transgenik kecuali komposisi medium. Untuk seleksi dan kultur eksplan transgenik, 

Polymerase chain reaction (PCR)
PCR dilakukan untuk mengetahui keberadaan gen target. Dalam hal ini untuk mengetahui apakah planlet transgenik yang diregenerasikan dari eksplan yang telah diinokulasi dengan A. tumefaciens pembawa konstruk 35S-TcAP1. Campuran pereaksi PCR mengandung DNA cetakan (template), sepasang primer DNA spesifik TcAP1, Polimerase DNA Taq 1 – 2,5 Unit. Reaksi dilakukan dengan volume 25 atau 50 µL dan program termal sebagai berikut: denaturasi pada suhu 94 oC selama 30 detik, pemasangan (annealing) pada suhu 50 oC selama 30 detik, pemanjangan pada suhu 72 oC selama dua menit, dan ulangan 35 siklus. Hasil PCR diperiksa menggunakan gel agarosa konsentrasi 0,7 – 1% yang telah diberi etidium bromida (Sambrook et al., 1989)
Contoh transfer gen apetala1 ketanaman tembakau untuk mempercepat proses pembungaandengan a. Tumefaciens

KESIMPULAN
  1. APETALA1 adalah gen penyandi faktor transkripsi yang dengan atau tanpa gen pembungaan lainnya, berperan dalam transisi perkembangan vegetatif ke pembungaan
  2. Konstruksi konstitutif dari gen AtLEAFY atau AtAP1, yang merupakan penginduksi pembungaan pada Arabidopsis, telah ditransformasikan dan diekspresikan di kecambah jeruk. Kedua jenis jeruk transgenik menghasilkan bunga fertile dan buah dini pada tahun pertama
  3. Hasil-hasil ini membuka peluang baru dalam pemuliaan (genetic improvement) tanaman tahunan

DAFTAR PUSTAKA
  • Chaidamsari T, :Budiani, A: Poerwanto, R: Santoso D, 2006 Ekspresi fenotipe gen APETALA1 kakao (TcAP1) pada eksplan tembakau Menara Perkebunan, 2006, 74(1), 1-9
  • Chaidamsari, T., Samanhudi, H. Sugiarti, D. Santoso, G.C. Angenent & R.A. de Maagd (2006). Isolation and characterization of an AGAMOUS homologue from cocoa. Plant Sci., 170, 968-975.
  • Claveri, J.M. & C. Notredame (2003). Bioinformatics For Dummies. 2nd ed., Wiley Publishing, Inc., New York, pp 215-238.
  • http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/manggis.pdf
  • http://foragri.blogsome.com/peluang-berkebun-manggis
  • Kitahara K., Y. Hibino, R. Aida, S. Matsumoto (2004). Ectopic expression of the rose AGAMOUS-like MADS-box genes 'MASAKO C1 and D1' causes similar homeotic transformation of sepal and petal in Arabidopsis and sepal in Torenia. Plant Sci., 166, 1245-1252.
  • Murashige, T. & F. Skoog (1962). A revised medium for rapid growth bioassays with tobacco tissue culture. Physiol. Plant., 15, 473-497.
  • Pelaz, S., C. Gustafson-Brown, S.E. Kohalmi,
  • Pena, L., M. Martín-Trillo, J. Juárez, J.A. Pina, L. Navarro & J.M. Martínez- Zapater (2001). Ekspresi fenotipe gen Constitutive expression of Arabidopsis LEAFY or APETALA1 genes in citrus reduces their generation time. Nature Biotechnol., 19, 263-267.
  • Putterill, J., R. Laurie & R. Macknight (2004). It's time to flower: the genetic control of flowering time. BioEssays , 26, 1-11.
  • Saint, S.L., K.K. Oduro & D.B. Furtek (1994) Genetic transformation of cocoa leaf cells using Agrobacterium tumefaciens. Plant Cell Tiss. & Org. Cult., 37, 243-251.
  • Sambrook J, EF Fritsch & T Maniatis (1989) Molecular Cloning, a Laboratory Manual, Book 1 and 2, 2nd ed. New York, Cold Spring Habor Laboratory.
  • Santoso, D., F.I. Cugito & H. Minarsih (2000). Development of tobacco plant cells in the presence of kanamycin at various levels for transgenesis. Menara Perkebunan, 68, (1), 21-28.
  • Santoso, D. (2004). Molecular and genetic engineering studies toward improvement of cacao bean production. RUTi Annual Report 2004. IBRIEC, Bogor, 54p.
  • Stone, S.L., L.W. Kwong, K.M. Yee, J. Pelletier, L.C. Lepiniec, R.L. Fischer, R.B. Goldberg & J.J. Harada (2001). LEAFY COTYLEDON2 encodes a B3 domain transcription factor that induces embryo development. PNAS, 98, 11806-11811.
  • Wagner, D., R.W. M. Sablowski & .M. Meyerowitz (1999). Transcriptional activation of APETALA1 by LEAFY. Science, 285, 582-584.
  • Wagner, D., F. Wellmer, K. Dilks, D. William, M.R.Smith, P.P. Kumar, J.L. Riechmann, A.J. Greeland & E.M. Meyerowitz (2004). Floral induction in tissue culture: a system for the analysis of LEAFY-dependent gene regulation. The Plant J., 39, 273-282.
  • Yalovsky, S., M. Rodríguez-Concepción, K. Bracha, G. Toledo-Ortiz & W. Gruissem (2000). Prenylation of the floral transcription factor APETALA1 modulates its function. Plant Cell, 12,: 1257-1266.

Kamis, 13 Oktober 2011

Penyakit ganoderma

Posted by Unknown On 23.41


PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perkebunan kelapa sawit adalah perkebunan yang relatif muda. Pada tahun 1848 indonesia (Hindia Belanda) mengimpor biji kelapa sawit dari mauritius atau reunion afrika dan ditanam di kebun raya bogor. Meskipun masuk dari afrika pada umumnya sekarang orang percaya bahwa daerah asal kelapa sawit adalah amerika selatan, karena sangat kaya akan jenis kelapa sawit

Maka pada pertengahan abad ke-19 kelapa sawit diperkenalkan dibanyak tempat di indonesia, namun tidak menarik minat rakyat. Tanaman ini mulai dikebunkan di Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur) pada tahun 1911. Areal kelapa sawit indonesia meningkat dengan pesat, khusunya sesudah tahun 1970-an. Kalau dulu perkebunan kelapa sawit hanya tersebar di sumatera, sekarang terdapat perkebunan-perkebunan yang luas di kalimantan, sulawesi, dan irian jaya

Dewasa ini perkebunan kelapa sawit indonesia terutama terdiri atas tanaman asal biji hasil persilangan dura dengan pesifera (D X P) yang disebut tenera. Mulai tahun 1985 pusat penelitian kelapa sawit di marihat, pematang siantar, menghasilkan bibit dari kultru jaringan. Dari pengamatan lapangan sampai tahunh 1993diketahui bahwa tanaman dari kultur jaringan memberikan produksi 29% lebih tinggi ketimbang tanaman hasil biji.

Kebun kelapa sawit harus diremajakan setiap 25 tahun. Dengan demikian di kebun-kebun lama dewasa ini terdapat generasi ke-2 atau ke-3. Tampak bahwa dari generasi ke generasi intensitas penyakit meningkat

Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan adalah untuk mengetahui permasalahn dan cara pemecahan masalah pengendalian penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit

Kegunaan Penulisan 

  • Sebagai salah satu syarat untuk melengkapi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Pertanian di  Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan 
  • Sebagai informasi bagi pihak yang menbutuhkan

PERMASALAHAN
Kelapa sawit merupakan tanaman komoditas perkebunan yang cukup penting di Indonesia dan masih memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah. Komoditas kelapa sawit, baik berupa bahan mentah maupun hasil olahannya, menduduki penyumbang devisa nonmigas terbesar bagi Indonesia.

a.   Gejala dan Tanda penyakit

Gejala dini penyakt ini sukar dideteksi karena perkembangan penyakit ini sangat lambat dan tidak diagnostik. Gejala mudah dilihat apabila sudah gejala lanjut atau sudah membentuk tubuh buah. Akibatnya tindakan pengendalian sudah sulit dikendalikan. Pada tanaman belum menghasilkan (TBM) gejala yang muncul adalah daun menguning kemudian mengering dan nekrosis dari pelepah bawah terus kepelepah atas dan akhirnya tanaman semua mengering dan mati. Tubuh buah jarang sekali ditemukan pada pangkal batang. Pembusukan pangkal batang juga terjadi tanaman TBM.

Gejala pada tanaman menghasilkan (TM) lebih mudah ditemukan yaitu daun menguning pucat duikuti dengan akumulasi daun tombak. Pada gejala yang lebih lanjut ditandai dengan patahnya pelepah bagian bawah dan menggantung (sengkleh) pada pangkal batang atau bagian tengah tanaman kelapa sawit mengalami pembusukan yang kadang-kadang diikuti tumbuhnya tubuh buah Ganoderma. Tetapi tidak semua tanaman bergejala menghasilkan tubuh buah, bahkan tidak ada gejala sedikitpun. Secara tiba-tiba pohon kelapa sawit tumbang dan bagian dalam batang telah mengalami pembusukan. Selain itu juga ada gejala ini terjadi pembusukan di pangkal batang. Pada jaringan batng yang busuk , tampak sebagai daerah berwarna coklat muda disertai adanya daerah berwarna gelap berbentuk pita tidak beraturan, pita ini sering disebut sebagai zona reaksi yang mengandung gatah. Secara mikroskopis gejala internal akar yang terserang ganoderma mirip pada batang yang terinfeksi. Jaringan kortek akar yang sakit berubah warna dari putih menjadi coklat. Pada serangan yang sudah lanjut, jaringan kortek rapuh dan mudah hancur.

b.   Penyebab Penyakit dan Mekanisme Penyebaran

Penyebab penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit di indonesia adalah jamur Ganoderma boninense. Infeksi dan penularan penyakit pada umumnya terjadi melalui kontak akar atau bagian pangkal batang dengan sumber inokulum di dalam tanah. Pada umumnya gejala penyakit ini pada kelapa sawit atau tanaman lainnya sulit diketahui secara dini dan serangannya baru terlihat ketika tanaman hampir mati dikarenakan setelah infeksi, perkembangan serangan penyakit pada jaringan tanaman terjadi relatif lambat yaitu 6-12 bulan. Penyakit BPB menyebabkan kerugian besar pada perkebunan kelapa sawit Indonesia, dimana tingkat kematian tanaman akibat serangan penyakit ini dapat mencapai 50% atau lebih.

Salah satu upaya yang dianggap paling ideal dalam usaha penanggulangan penyakit adalah melalui pemuliaan tanaman sehingga diperoleh tanaman yang tahan. Jika pemuliaan tanaman harus dilakukan secara konvensional, kendala yang dihadapi adalah siklus pemuliaan yang panjang karena merupakan tanaman tahunan. Di samping itu tanaman kelapa sawit yang ada di Indonesia memiliki latar belakang genetik yang sempit. Kegiatan awal pemuliaan adalah mencari tanaman yang bisa digunakan sebagai breeding materials baik untuk bahan tetua persilangan atau sebagai populasi dasar. Hal ini berkaitan erat dengan keragaman atau variabilitas material tersebut. Oleh karena itu perlu dikembangkan teknik deteksi dini dan pencarian varietas tahan melalui seleksidan metode lain.

Oleh karena itu, perlu adanya pemecahan masalah terhadap kendala awal yang dihadapi tersebut dan metode yang efisien.

PENGEMBANGAN TANAMAN TRANSGENIK KELAPA SAWIT  TAHAN GANODERMA

1.      Seleksi 
Seleksi sebagai langkah awal dari pemuliaan, dilakukan untuk mendapatkan suatu populasi dasar atau tetua sebagai bahan persilangan yang nantinya akan diteruskan dengan tahap-tahap lainnya, sampai mendapatkan varietas yang tahan. Untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap serangan Ganoderma dari banyak populasi plasma nutfah dilakukan dengan seleksi. Cara seleksi antara lain secara konvensional maupun menggunakan bioteknologi.

1.1 Seleksi Konvensional Dengan Cara Pengamatan pada Beberapa Petak Percobaan yang Telah Terserang Ganoderma 
Cara yang mudah adalah membiarkan adanya serangan pada kelapa sawit di lahan, kemudian memilih pohon induk. Pohon induk yang terpilih adalah pohon sehat, yang sekelilingnya telah terserang Ganoderma. Dari beberapa tanaman yang terserang didapatkan derajat toleransi yang berbeda-beda.. Perbedaan tersebut perlu diteliti apakah tanaman tersebut memang memiliki gen ketahanan atau karena tidak terserang. Deteksi dini dan Analisis ketahanan pada waktu seleksi di lapang, bisa dilakukan dengan membongkar kemudian membelah secara membujur pada jaringan yang terserang. Dengan membandingkan aktivitas beberapa protein yang berhubungan dengan patogenitas (pathogenicity related proteins), dapat diketahui bahwa aktivitas enzim glucanase dan chitinase meningkat pada jaringan yang sehat di dekat jaringan yang berbatasan dengan jaringan yang diserang patogen. Kedua enzim tersebut dapat menghancurkan glucan dan chitin yang merupakan komponen utama dari dinding sel fungi.
Dalam penelitian telah ditemukan pohon yang sehat. Hal ini mengindikasikan derajat toleransi tanaman terhadap penyakit ini berbeda-beda. Pada percobaan didapatkan beberapa pohon yang sehat dan diduga pohon-pohon ini mempunyai derajat toleransi yang tinggi sehingga dapat terhindar dari serangan Ganoderma. Tentunya kalaupun ada tanaman yang tahan, namun ketahanannya terhadap beberapa isolat Ganoderma belum teruji. Dan disebutkan bahwa derajat toleransi tersebut ada hubungannya dengan sifat genetik tanaman.
Tanaman sehat tersebut kemudian diperbanyak melalui teknik kultur jaringan. Tingkat keberhasilan tiap tanaman membentuk kalus bergantung pada individu asal tanaman, tingkat umur, posisi explant serta konsentrasi fitohormon. Dari plantlet yang didapat masih perlu diuji lagi derajat toleransinya terhadap Ganoderma. 

1.2 Cara Seleksi Menggunakan Bioteknologi  
Dalam usaha membantu memperpendek siklus seleksi diatas untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap serangan Ganoderma, identifikasi penanda molekuler perlu dilakukan. Yang dimaksud dengan penanda molekuler di sini adalah pita DNA produk RAPD atau restriction fragment length polymorphism (RFLP) yang keberadaannya bertautan dengan gen ketahanan.

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, identifikasi penanda molekuler dilakukan dengan teknik differential display reverse transcriptase-polymerase chain reaction (DDRT-PCR). Teknik ini pada prinsipnya adalah membandingkan keberadaan produk amplifikasi hibrid messenger RNA dan DNA komplementernya (mRNA-cDNA hybrid) pada dua atau lebih jenis jaringan yang berbeda kondisinya. Dengan teknik tersebut, penanda molekuler akan diidentifikasi melalui pengisolasian messenger RNA (mRNA) yang secara spesifik diekspresikan sebagai respon terhadap infeksi yang ada. dalam laporan penelitiannya menyebutkan bahwa telah ditemukan pohon induk kelapa sawit yang tahan terhadap serangan Ganoderma di Blok 39,Afd. I, Kebun Tinjowan. Hal ini membuka peluang untuk memindahkan sifat tahan tersebut kepada keturunannya melalui persilangan. Akan tetapi marker DNA dari sifat ketahanan tersebut belum ditemukan sampai saat ini. Sehingga sifat perwarisannya perlu diteliti lebih jauh lagi.

2.  ANALISIS MOLEKULAR MELALUI PEMETAAN QTL  
Teknik yang merupakan kombinasi antara pemuliaan konvensional dan bioteknologi yang berbasis marka molekular merupakan alat bantu strategis yang dapat mempersingkat waktu pencapaian tujuan pemuliaan tanaman dengan cara mempersingkat waktu seleksi. Pemuliaan konvensional memerlukan waktu yang lama dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Strategi potensial pemanfaatan bioteknologi dalam bidang pemuliaan adalah melalui marka assisted selection (MAS) dan rekayasa genetika (Irwansyah, 2004).

Pemuliaan yang memanfaatkan marka molekular sebagai MAS sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal dan hasil diperoleh yang lebih akurat. Pemanfaatan marker molekular yang berasosiasi dengan QTL merupakan strategi yang efisien untuk mendapatkan varietas baru yang berdaya hasil tinggi dan sekaligus membawa satu sifat ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Namun demikian, untuk dapat memanfaatkan marker molecular sebagai MAS dalam program seleksi terhadap karakter yang diinginkan maka marka yang berasosiasi dengan QTL yang mengendalikan karakter tersebut harus diidentifikasi terlebih dahulu. Indentifikasi marka yang berasosiasi dengan QTL dapat dilakukan dengan analisis dan pemetaan QTL (Ruswandi, et al., 2002).

QTL (Quantitative Trait Loci) 
QTL (quantitative trait loci) adalah lokus yang mengendalikan karakter kuantitatif. Karakter kuantitatif diterjemahkan sebagai karakter dengan data yang mempunyai distribusi kontinui yang diperoleh dari hasil pengukuran atau penghitungan. Karakter ini dikontrol oleh banyak gen, namun masing-masing gen memberikan efek yang sama terhadap karakter tersebut. Analisis genetik beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa beberapa gen dapat mengontrol suatu karakter yang menyebar kontinui. Penelusuran gen-gen yang mengontrol karakter kuantitatif berperan penting dalam analisis genom terutama untuk karakter kuantitaif. Prosedur identifikasi dan menentukan lokasi QTL dalam genom disebut pemetaan QTL. 

Pemetaan QTL merupakan kombinasi antara analisis pautan kualitatif dengan analisis genetika kuantitatif. Pemetaan QTL meliputi konstruksi pemetaan genom dan penelusuran hubungan antara karakter (trait) dengan marka polimorfik. Hasil pemetaan QTL dapat menyediakan informasi tentang jumlah dan aksi gen yang mengontrol suatu karakter serta lokasinya pada kromosom. Peta QTL dapat juga dijadikan informasi awal bagi kegiatan kloning yaitu kloning berbasis pemetaan dari suatu gen yang berasosiasi dengan karakter tertentu (Surahman, 2002).

Umumnya sifat agronomi yang bernilai ekonomi tinggi yang dimiliki oleh tanaman, sebagai contoh ketahanan terhadap cekaman biotik seperti hama dan penyakit, maupun ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti kekeringan, pH rendah, serangan hama penyakit, dan intensitas cahaya rendah dikendalikan oleh banyak gen sehingga biasa disebut karakter kuantitatif. Kontribusi masing-masing gen terhadap karakter tersebut tidak besar.

Pemetaan QTL 
Peta genetika merupakan pengembangan konsep genetika klasik melalui biologi dan teknik molekular. Peta genetika tanaman merupakan model abstrak dari sejumlah gen atau marka genetik yang tersusun secara linear dalam kromosom atau genom. Gen yang dimaksud dapat seperti gen yang dimaksud oleh Mendel atau segmen DNA yang telah diketahui fungsinya. Marka atau yang dimaksud adalah dapat berupa marka morfologi, marka sitogenetik, marka dan marka DNA.

2.1. Marka morfologi 
Studi awal tentang pemetaan lebih banyak mempelajari karakter yang diwariskan secara sederhana seperti karakter yang dipelajari oleh Mendel, contohnya bentuk, warna dan ukuran biji. Marka morfologi ini dikontrol oleh satu gen spesifik (karakter kualitatif) sehingga sangat berguna sebagai marka genetik dalam pemetaan.

2.2. Marka sitogenetik 
Perpasangan kromosom pada saat metafase telah digunakan untuk mempelajari evolusi genom dalam spesies atau antara spesies yang berkerabat karena kromosom yang berpasangan mempunyai kemiripan yang tinggi. Pengunaan marka sitogenetik sangat terbatas karena resolusinya rendah dan metodenya juga sulit. Salah satu metode yang digunakan adalah Chromosome Banding atau Cbanding untuk memperoleh pola pewarnaan yang spesifik pada kromosom. Sebagian band ditemukan pada kromosom mitotic. Variasi banding ini berasal dari DNA repetitive yang terdapat pada kromosom. Ternyata marka ini juga sulit digunakan karena variasi banding yang dihasilkan sangat rendah. 

2.3. Marka DNA
Marka DNA adalah suatu sekuen pendek DNA yang menunjukkan adanya polimorfis antara individu berbeda dalam satu spesies. Marka DNA mempunyai tingkat polimorfisme yang sangat tingi, jumlahnya tidak terbatas, tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dan tingkat heritabilitasnya hampir 100%. Pada decade terakhir marka DNA lebih dikembangkan penggunaannya dalam pemetaan. Marka yang diperoleh dari DNA disebut juga marka molekular. 

Suatu marka akan efektif jika marka dapat membedakan antara dua tetua yang berbeda genotipanya dan marka yang digunakan juga harus diwariskan pada keturunannya. Marka juga akan efektif jika dapat dideteksi dengan mudah dalam populasi yang diuji. Peta genetik dibuat berdasarkan rekombinasi homolog yang terjadi selama meiosis sehingga disebut juga peta meiosis. Jika dua atau lebih marka berdekatan dalam kromosom maka alel-alelnya cenderung untuk diwariskan secara bersama-sama. Frekwensi rekombinan yang terjadi antara marka atau lokus yang dijelaskan oleh marka digunakan untuk menentukan jarak keterpautan antara dua lokus atau marka. Beberapa factor yang menentukan kepadatan marka dalam peta adalah panjang genom, jumlah marka yang digunakan, distribusi marka yang polimorfis, distribusi marka dalam genom, distribusi pindah silang, jenis dan ukuran populasi serta strategi pemetaan yang dipilih. 

3.  GEN STIBENE SYNTHASE 
Didalam tanaman dapat menghasilkan berbagai metabolit sekunder yang bersifat antimikrobial yang dikenal sebagai pertahanan tanaman terhadap serangan patogen. Diantara berbagai pitoeleksin yang perna diteliti selama ini, resveratrol merupakan pitoaleksin yang paling lama dan intensif diteliti dalam hubungan dengan mekanisme ketahanan suatu tanaman terhadap serangan patogen jamur.

Resveratrol merupakan pitoaleksin dengan berat molekul rendah dan bersifat non-protein yang terbentuk bila tanaman terinfeksi oleh paogen. Beberapa varietas tanaman diketahui mempunyai kandungan resvetrol tinggi secara alami seperti anggur, kacang tanah, dan pinus dengan kandungan resveratrol di daun sebesar 400 g g-1  per berat segar, konsentrasi sebesar ini menyebabkan tanaman anggur resisten terhadap serangan jamur Botrytis cinerea. Biosintesis stilbene dapat berlangsung bila tersedia enzim stilbene synthase dimana reaksi pembentukan stilbene hidroksi berasal dari malonyl-Coa dan p-coumaroyl-Coa. Tanaman trangenik tembakau, tomat, alfafa dan varietas anggur rentan yang di introduksi dengan gen tersebut terbukti resisten terhadap berbagai patogen jamur di lapang. Transfer gen enzim stilbene synthase dari spesies tanaman lain kedalam genom kelapa sawit diharapkan akan meningkatkan aktifitas enzim stilbene synthase sehingga terjadi akumulasi resveratrol yang cukup tinggi didalam jaringan kelapa sawit sebagai mekanisme resisten kalapa sawit terhadap serangan jamur Ganoderma   

KESIMPULAN 
Salah satu upaya yang dianggap paling ideal dalam usaha penanggulangan penyakit yang diakibatkan jamur Ganoderma pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack.) adalah melalui pemuliaan tanaman sehingga diperoleh tanaman yang tahan. Salah satu upaya awal untuk mendapatkan tanaman kelapa sawit adalah melalui seleksi baik secara konvensional maupun dengan teknik differential display reverse transcriptase-polymerase chain reaction (DDRT-PCR). Dengan penanda molekuler tersebut diharapkan dapat dengan cepat mengidentifikasi klon yang tahan terhadap Ganoderma dan pemanfaatan gen stilbene synthase yang berfungsi untuk ketahan tanaman terhadap patogen 

DAFTAR PUSTAKA 
Irwansyah, E. 2004. Peta Pautan Genetik Marka RAPD dan Analisis QTL Kelapa sawit Menggunakan Populasi Silang Balik Generasi Pertama menuju perbaikan Kualitas Minyak. Disertasi IPB, Bogor 
Ruswandi, D., D.M. Hautea, A. L. Carpena, R. M. Lantican, A.M. Salazar, and A. D, Raymundo. 2002. Quantitative trait loci maaping of Philippine downy mildew resistance gene in mayze (Zea mays L.). Zuriat. 13(1): 27-34 
Surahman, M. 2002. Peta genetik tanaman, prinsip dan aplikasinya. Bul. Agron.  30(1): 27-30 
PPKS, 2006, Penyakit Busuk Pangkal Kelapa Sawit dan Pengedalian, PPKS.Medan 
PPKS, 2008. Teknologi Pengendalian Hama dan Penyakit Pada Kelapa Sawit Siap Pakai dan Ramah Lingkungan. PPKS, Medan 
Utomo, C dan D. Tambajong, 2005. Prospek Rekayasa Genetika Pada Tanaman Kelapa Sawit. Warta Volume 13 no 3 
Wirnas, D. 2005. Analisis Kuantitatif dan Molekuler Dalam Rangka Mempercepat Perakitan Varietas
Baru Kedelai Terhadap Toleran Terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702). Sekolah Pasca Sarjana/ S3. IPB, Bogor 

Diberdayakan oleh Blogger.