PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Perkebunan
kelapa sawit adalah perkebunan yang relatif muda. Pada tahun 1848 indonesia
(Hindia Belanda) mengimpor biji kelapa sawit dari mauritius atau reunion afrika
dan ditanam di kebun raya bogor. Meskipun masuk dari afrika pada umumnya
sekarang orang percaya bahwa daerah asal kelapa sawit adalah amerika selatan,
karena sangat kaya akan jenis kelapa sawit
Maka pada
pertengahan abad ke-19 kelapa sawit diperkenalkan dibanyak tempat di indonesia,
namun tidak menarik minat rakyat. Tanaman ini mulai dikebunkan di
Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur) pada tahun 1911. Areal kelapa sawit
indonesia meningkat dengan pesat, khusunya sesudah tahun 1970-an. Kalau dulu
perkebunan kelapa sawit hanya tersebar di sumatera, sekarang terdapat
perkebunan-perkebunan yang luas di kalimantan, sulawesi, dan irian jaya
Dewasa ini perkebunan kelapa sawit indonesia
terutama terdiri atas tanaman asal biji hasil persilangan dura dengan pesifera
(D X P) yang disebut tenera. Mulai tahun 1985 pusat penelitian kelapa sawit di
marihat, pematang siantar, menghasilkan bibit dari kultru jaringan. Dari
pengamatan lapangan sampai tahunh 1993diketahui bahwa tanaman dari kultur
jaringan memberikan produksi 29% lebih tinggi ketimbang tanaman hasil biji.
Kebun kelapa sawit harus diremajakan setiap 25
tahun. Dengan demikian di kebun-kebun lama dewasa ini terdapat generasi ke-2
atau ke-3. Tampak bahwa
dari generasi ke generasi intensitas penyakit meningkat
Tujuan
penulisan
Adapun
tujuan penulisan adalah untuk mengetahui permasalahn dan cara pemecahan masalah
pengendalian penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit
Kegunaan
Penulisan
PERMASALAHAN
Kelapa sawit
merupakan tanaman komoditas perkebunan yang cukup penting di Indonesia dan
masih memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah. Komoditas kelapa sawit,
baik berupa bahan mentah maupun hasil olahannya, menduduki penyumbang devisa
nonmigas terbesar bagi Indonesia.
a. Gejala dan Tanda penyakit
Gejala dini
penyakt ini sukar dideteksi karena perkembangan penyakit ini sangat lambat dan
tidak diagnostik. Gejala mudah dilihat apabila sudah gejala lanjut atau sudah
membentuk tubuh buah. Akibatnya tindakan pengendalian sudah sulit dikendalikan.
Pada tanaman belum menghasilkan (TBM) gejala yang muncul adalah daun menguning
kemudian mengering dan nekrosis dari pelepah bawah terus kepelepah atas dan
akhirnya tanaman semua mengering dan mati. Tubuh buah jarang sekali ditemukan pada
pangkal batang. Pembusukan pangkal batang juga terjadi tanaman TBM.
Gejala pada
tanaman menghasilkan (TM) lebih mudah ditemukan yaitu daun menguning pucat
duikuti dengan akumulasi daun tombak. Pada gejala yang lebih lanjut ditandai
dengan patahnya pelepah bagian bawah dan menggantung (sengkleh) pada pangkal
batang atau bagian tengah tanaman kelapa sawit mengalami pembusukan yang
kadang-kadang diikuti tumbuhnya tubuh buah Ganoderma. Tetapi tidak semua
tanaman bergejala menghasilkan tubuh buah, bahkan tidak ada gejala sedikitpun.
Secara tiba-tiba pohon kelapa sawit tumbang dan bagian dalam batang telah
mengalami pembusukan. Selain itu juga ada gejala ini terjadi pembusukan di
pangkal batang. Pada jaringan batng yang busuk , tampak sebagai daerah berwarna
coklat muda disertai adanya daerah berwarna gelap berbentuk pita tidak
beraturan, pita ini sering disebut sebagai zona reaksi yang mengandung gatah.
Secara mikroskopis gejala internal akar yang terserang ganoderma mirip pada
batang yang terinfeksi. Jaringan kortek akar yang sakit berubah warna dari
putih menjadi coklat. Pada serangan yang sudah lanjut, jaringan kortek rapuh
dan mudah hancur.
b. Penyebab Penyakit dan Mekanisme
Penyebaran
Penyebab
penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit di indonesia adalah jamur Ganoderma
boninense. Infeksi dan penularan penyakit pada umumnya terjadi melalui
kontak akar atau bagian pangkal batang dengan sumber inokulum di dalam tanah.
Pada umumnya gejala penyakit ini pada kelapa sawit atau tanaman lainnya sulit
diketahui secara dini dan serangannya baru terlihat ketika tanaman hampir mati
dikarenakan setelah infeksi, perkembangan serangan penyakit pada jaringan
tanaman terjadi relatif lambat yaitu 6-12 bulan. Penyakit BPB menyebabkan
kerugian besar pada perkebunan kelapa sawit Indonesia, dimana tingkat kematian
tanaman akibat serangan penyakit ini dapat mencapai 50% atau lebih.
Salah satu
upaya yang dianggap paling ideal dalam usaha penanggulangan penyakit adalah
melalui pemuliaan tanaman sehingga diperoleh tanaman yang tahan. Jika pemuliaan
tanaman harus dilakukan secara konvensional, kendala yang dihadapi adalah
siklus pemuliaan yang panjang karena merupakan tanaman tahunan. Di samping itu
tanaman kelapa sawit yang ada di Indonesia memiliki latar belakang genetik yang
sempit. Kegiatan awal pemuliaan adalah mencari tanaman yang bisa digunakan
sebagai breeding materials baik untuk bahan tetua persilangan atau sebagai
populasi dasar. Hal ini berkaitan erat dengan keragaman atau variabilitas material
tersebut. Oleh karena itu perlu dikembangkan teknik deteksi dini dan pencarian
varietas tahan melalui seleksidan metode lain.
Oleh karena itu, perlu adanya pemecahan masalah
terhadap kendala awal yang dihadapi tersebut dan metode yang efisien.
PENGEMBANGAN
TANAMAN TRANSGENIK KELAPA SAWIT TAHAN GANODERMA
1. Seleksi
Seleksi
sebagai langkah awal dari pemuliaan, dilakukan untuk mendapatkan suatu populasi
dasar atau tetua sebagai bahan persilangan yang nantinya akan diteruskan dengan
tahap-tahap lainnya, sampai mendapatkan varietas yang tahan. Untuk mendapatkan
tanaman yang tahan terhadap serangan Ganoderma dari banyak populasi plasma
nutfah dilakukan dengan seleksi. Cara seleksi antara lain secara konvensional
maupun menggunakan bioteknologi.
1.1 Seleksi Konvensional Dengan Cara
Pengamatan pada Beberapa Petak Percobaan yang Telah Terserang Ganoderma
Cara yang
mudah adalah membiarkan adanya serangan pada kelapa sawit di lahan, kemudian
memilih pohon induk. Pohon induk yang terpilih adalah pohon sehat, yang
sekelilingnya telah terserang Ganoderma. Dari beberapa
tanaman yang terserang didapatkan derajat toleransi yang berbeda-beda..
Perbedaan tersebut perlu diteliti apakah tanaman tersebut memang memiliki gen
ketahanan atau karena tidak terserang. Deteksi dini dan Analisis ketahanan pada
waktu seleksi di lapang, bisa dilakukan dengan membongkar kemudian membelah
secara membujur pada jaringan yang terserang. Dengan membandingkan aktivitas
beberapa protein yang berhubungan dengan patogenitas (pathogenicity related
proteins), dapat diketahui bahwa aktivitas enzim glucanase dan chitinase
meningkat pada jaringan yang sehat di dekat jaringan yang berbatasan dengan
jaringan yang diserang patogen. Kedua enzim tersebut dapat menghancurkan glucan
dan chitin yang merupakan komponen utama dari dinding sel fungi.
Dalam penelitian telah ditemukan pohon yang sehat.
Hal ini mengindikasikan derajat toleransi tanaman terhadap penyakit ini
berbeda-beda. Pada percobaan didapatkan beberapa pohon yang sehat dan diduga
pohon-pohon ini mempunyai derajat toleransi yang tinggi sehingga dapat
terhindar dari serangan Ganoderma. Tentunya kalaupun ada tanaman yang
tahan, namun ketahanannya terhadap beberapa isolat Ganoderma belum
teruji. Dan disebutkan bahwa derajat toleransi tersebut ada hubungannya dengan
sifat genetik tanaman.
Tanaman sehat tersebut kemudian diperbanyak melalui
teknik kultur jaringan. Tingkat keberhasilan tiap tanaman membentuk kalus
bergantung pada individu asal tanaman, tingkat umur, posisi explant serta
konsentrasi fitohormon. Dari plantlet yang didapat masih perlu diuji lagi
derajat toleransinya terhadap Ganoderma.
1.2 Cara Seleksi Menggunakan
Bioteknologi
Dalam usaha membantu memperpendek siklus seleksi
diatas untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap serangan Ganoderma,
identifikasi penanda molekuler perlu dilakukan. Yang dimaksud dengan penanda
molekuler di sini adalah pita DNA produk RAPD atau restriction fragment length
polymorphism (RFLP) yang keberadaannya bertautan dengan gen ketahanan.
Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut,
identifikasi penanda molekuler dilakukan dengan teknik differential display
reverse transcriptase-polymerase chain reaction (DDRT-PCR). Teknik ini pada
prinsipnya adalah membandingkan keberadaan produk amplifikasi hibrid messenger
RNA dan DNA komplementernya (mRNA-cDNA hybrid) pada dua atau lebih jenis
jaringan yang berbeda kondisinya. Dengan teknik tersebut, penanda molekuler
akan diidentifikasi melalui pengisolasian messenger RNA (mRNA) yang secara
spesifik diekspresikan sebagai respon terhadap infeksi yang ada. dalam laporan
penelitiannya menyebutkan bahwa telah ditemukan pohon induk kelapa sawit yang
tahan terhadap serangan Ganoderma di Blok 39,Afd. I, Kebun Tinjowan. Hal
ini membuka peluang untuk memindahkan sifat tahan tersebut kepada keturunannya
melalui persilangan. Akan tetapi marker DNA dari sifat ketahanan tersebut belum
ditemukan sampai saat ini. Sehingga sifat perwarisannya perlu diteliti lebih
jauh lagi.
2. ANALISIS MOLEKULAR MELALUI PEMETAAN QTL
Teknik yang merupakan kombinasi antara pemuliaan
konvensional dan bioteknologi yang berbasis marka molekular merupakan alat
bantu strategis yang dapat mempersingkat waktu pencapaian tujuan pemuliaan
tanaman dengan cara mempersingkat waktu seleksi. Pemuliaan konvensional
memerlukan waktu yang lama dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Strategi potensial pemanfaatan bioteknologi dalam bidang pemuliaan adalah
melalui marka assisted selection (MAS) dan rekayasa genetika
(Irwansyah, 2004).
Pemuliaan yang memanfaatkan marka molekular sebagai
MAS sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal dan hasil diperoleh
yang lebih akurat. Pemanfaatan marker molekular yang berasosiasi dengan QTL
merupakan strategi yang efisien untuk mendapatkan varietas baru yang berdaya
hasil tinggi dan sekaligus membawa satu sifat ketahanan terhadap cekaman biotik
maupun abiotik. Namun demikian, untuk dapat memanfaatkan marker molecular
sebagai MAS dalam program seleksi terhadap karakter yang diinginkan maka marka
yang berasosiasi dengan QTL yang mengendalikan karakter tersebut harus
diidentifikasi terlebih dahulu. Indentifikasi marka yang berasosiasi dengan QTL
dapat dilakukan dengan analisis dan pemetaan QTL (Ruswandi, et al.,
2002).
QTL (Quantitative Trait Loci)
QTL (quantitative trait loci) adalah lokus yang mengendalikan karakter
kuantitatif. Karakter kuantitatif diterjemahkan sebagai karakter dengan data
yang mempunyai distribusi kontinui yang diperoleh dari hasil pengukuran atau
penghitungan. Karakter ini dikontrol oleh banyak gen, namun masing-masing gen
memberikan efek yang sama terhadap karakter tersebut. Analisis genetik beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa beberapa gen dapat
mengontrol suatu karakter yang menyebar kontinui. Penelusuran gen-gen yang
mengontrol karakter kuantitatif berperan penting dalam analisis genom terutama
untuk karakter kuantitaif. Prosedur identifikasi dan menentukan lokasi QTL
dalam genom disebut pemetaan QTL.
Pemetaan QTL merupakan kombinasi antara analisis
pautan kualitatif dengan analisis genetika kuantitatif. Pemetaan QTL meliputi
konstruksi pemetaan genom dan penelusuran hubungan antara karakter (trait)
dengan marka polimorfik. Hasil pemetaan QTL dapat menyediakan informasi tentang
jumlah dan aksi gen yang mengontrol suatu karakter serta lokasinya pada
kromosom. Peta QTL dapat juga dijadikan informasi awal bagi kegiatan kloning
yaitu kloning berbasis pemetaan dari suatu gen yang berasosiasi dengan karakter
tertentu (Surahman, 2002).
Umumnya sifat agronomi yang bernilai ekonomi tinggi
yang dimiliki oleh tanaman, sebagai contoh ketahanan terhadap cekaman biotik
seperti hama dan penyakit, maupun ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti
kekeringan, pH rendah, serangan hama penyakit, dan intensitas cahaya rendah
dikendalikan oleh banyak gen sehingga biasa disebut karakter kuantitatif.
Kontribusi masing-masing gen terhadap karakter tersebut tidak besar.
Pemetaan QTL
Peta genetika merupakan pengembangan konsep genetika klasik melalui biologi dan
teknik molekular. Peta genetika tanaman merupakan model abstrak dari sejumlah
gen atau marka genetik yang tersusun secara linear dalam kromosom atau genom.
Gen yang dimaksud dapat seperti gen yang dimaksud oleh Mendel atau segmen DNA
yang telah diketahui fungsinya. Marka atau yang dimaksud adalah dapat berupa
marka morfologi, marka sitogenetik, marka dan marka DNA.
2.1. Marka morfologi
Studi awal tentang pemetaan lebih banyak mempelajari karakter yang diwariskan
secara sederhana seperti karakter yang dipelajari oleh Mendel, contohnya
bentuk, warna dan ukuran biji. Marka morfologi ini dikontrol oleh satu gen
spesifik (karakter kualitatif) sehingga sangat berguna sebagai marka genetik
dalam pemetaan.
2.2. Marka sitogenetik
Perpasangan kromosom pada saat metafase telah
digunakan untuk mempelajari evolusi genom dalam spesies atau antara spesies
yang berkerabat karena kromosom yang berpasangan mempunyai kemiripan yang
tinggi. Pengunaan marka sitogenetik sangat terbatas karena resolusinya rendah
dan metodenya juga sulit. Salah satu metode yang digunakan adalah Chromosome
Banding atau Cbanding untuk memperoleh pola pewarnaan yang spesifik
pada kromosom. Sebagian band ditemukan pada kromosom mitotic. Variasi
banding ini berasal dari DNA repetitive yang terdapat pada kromosom.
Ternyata marka ini juga sulit digunakan karena variasi banding yang
dihasilkan sangat rendah.
2.3. Marka DNA
Marka DNA adalah suatu sekuen pendek DNA yang
menunjukkan adanya polimorfis antara individu berbeda dalam satu spesies. Marka
DNA mempunyai tingkat polimorfisme yang sangat tingi, jumlahnya tidak terbatas,
tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dan tingkat heritabilitasnya hampir 100%.
Pada decade terakhir marka DNA lebih dikembangkan penggunaannya dalam pemetaan.
Marka yang diperoleh dari DNA disebut juga marka molekular.
Suatu marka akan efektif jika marka dapat membedakan
antara dua tetua yang berbeda genotipanya dan marka yang digunakan juga harus
diwariskan pada keturunannya. Marka juga akan efektif jika dapat dideteksi
dengan mudah dalam populasi yang diuji. Peta genetik dibuat berdasarkan rekombinasi homolog
yang terjadi selama meiosis sehingga disebut juga peta meiosis. Jika dua
atau lebih marka berdekatan dalam kromosom maka alel-alelnya cenderung untuk
diwariskan secara bersama-sama. Frekwensi rekombinan yang terjadi antara marka
atau lokus yang dijelaskan oleh marka digunakan untuk menentukan jarak
keterpautan antara dua lokus atau marka. Beberapa factor yang menentukan kepadatan
marka dalam peta adalah panjang genom, jumlah marka yang digunakan, distribusi
marka yang polimorfis, distribusi marka dalam genom, distribusi pindah silang,
jenis dan ukuran populasi serta strategi pemetaan yang dipilih.
3. GEN STIBENE SYNTHASE
Didalam tanaman dapat menghasilkan
berbagai metabolit sekunder yang bersifat antimikrobial yang dikenal sebagai
pertahanan tanaman terhadap serangan patogen. Diantara berbagai pitoeleksin
yang perna diteliti selama ini, resveratrol merupakan pitoaleksin yang paling
lama dan intensif diteliti dalam hubungan dengan mekanisme ketahanan suatu
tanaman terhadap serangan patogen jamur.
Resveratrol
merupakan pitoaleksin dengan berat molekul rendah dan bersifat non-protein yang
terbentuk bila tanaman terinfeksi oleh paogen. Beberapa varietas tanaman
diketahui mempunyai kandungan resvetrol tinggi secara alami seperti anggur,
kacang tanah, dan pinus dengan kandungan resveratrol di daun sebesar 400 g g-1
per berat segar, konsentrasi sebesar ini menyebabkan tanaman anggur resisten
terhadap serangan jamur Botrytis cinerea. Biosintesis stilbene dapat
berlangsung bila tersedia enzim stilbene synthase dimana reaksi pembentukan
stilbene hidroksi berasal dari malonyl-Coa dan p-coumaroyl-Coa. Tanaman
trangenik tembakau, tomat, alfafa dan varietas anggur rentan yang di introduksi
dengan gen tersebut terbukti resisten terhadap berbagai patogen jamur di
lapang. Transfer gen enzim stilbene synthase dari spesies tanaman lain kedalam
genom kelapa sawit diharapkan akan meningkatkan aktifitas enzim stilbene
synthase sehingga terjadi akumulasi resveratrol yang cukup tinggi didalam
jaringan kelapa sawit sebagai mekanisme resisten kalapa sawit terhadap serangan
jamur Ganoderma
KESIMPULAN
Salah satu upaya yang dianggap paling ideal dalam
usaha penanggulangan penyakit yang diakibatkan jamur Ganoderma pada kelapa
sawit (Elaeis guineensis Jack.) adalah melalui pemuliaan tanaman sehingga
diperoleh tanaman yang tahan. Salah satu upaya awal untuk mendapatkan tanaman
kelapa sawit adalah melalui seleksi baik secara konvensional maupun dengan
teknik differential display reverse transcriptase-polymerase chain reaction
(DDRT-PCR). Dengan penanda molekuler tersebut diharapkan dapat dengan cepat
mengidentifikasi klon yang tahan terhadap Ganoderma dan pemanfaatan gen
stilbene synthase yang berfungsi untuk ketahan tanaman terhadap patogen
DAFTAR PUSTAKA
Irwansyah, E. 2004. Peta Pautan Genetik Marka RAPD dan
Analisis QTL Kelapa sawit Menggunakan Populasi Silang Balik Generasi Pertama
menuju perbaikan Kualitas Minyak. Disertasi IPB, Bogor
Ruswandi, D., D.M. Hautea, A. L. Carpena, R. M.
Lantican, A.M. Salazar, and A. D, Raymundo. 2002. Quantitative trait loci
maaping of Philippine downy mildew resistance gene in mayze (Zea mays L.).
Zuriat. 13(1): 27-34
Surahman, M. 2002. Peta genetik tanaman, prinsip dan
aplikasinya. Bul. Agron. 30(1): 27-30
PPKS, 2006, Penyakit Busuk Pangkal Kelapa Sawit dan
Pengedalian, PPKS.Medan
PPKS, 2008. Teknologi Pengendalian Hama dan
Penyakit Pada Kelapa Sawit Siap Pakai dan Ramah Lingkungan. PPKS, Medan
Utomo, C dan D. Tambajong, 2005. Prospek Rekayasa
Genetika Pada Tanaman Kelapa Sawit. Warta Volume 13 no 3
Wirnas, D. 2005. Analisis Kuantitatif dan Molekuler
Dalam Rangka Mempercepat Perakitan Varietas
Baru Kedelai Terhadap Toleran
Terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Makalah Pribadi
Falsafah Sains (PPS 702). Sekolah Pasca Sarjana/ S3. IPB,
Bogor